THOF>Meneladani Semangat Bung Tomo
Pertemuan berikutnya dengan Bung Tomo dalam kenangan Rosihan adalah ketika ibadah haji pada 1981. Ia merupakan salah satu tamu undangan Raja Arab, sedangkan Bung Tomo tengah menunaikan ibadah haji dengan rombongan yang terpisah.
Pada 7 Oktober 1981 Bung Tomo meninggal dan Rosihan terkejut ketika tokoh perjuangan 10 November 1945 itu tidak dimakamkan di tanah air.
"Saya marah dengan Dirjen Agama Islam dari Departemen Agama RI pada waktu itu yang tidak berbuat apa-apa, akhirnya Bung Tomo dimakamkan di Mekah. Padahal seharusnya jenazahnya dibawa pulang ke Indonesia, karena dia adalah tokoh pejuang revolusi, dia adalah pahlawan," katanya.
Dua tahun kemudian makam Bung Tomo dibongkar dan tulang-tulangnya dibawa pulang untuk dimakamkan kembali di tanah kelahirannya, Surabaya.
Sejak ia wafat, banyak kalangan mengusulkan agar Bung Tomo mendapat gelar pahlawan terlebih setiap memperingati Hari Pahlawan dan pidatonya yang berapi-api saat mengusir penjajah Belanda dari Surabaya pada 10 November 1945 diperdengarkan dari radio. Tapi, kebijakan pemerintah berbicara lain. Pemerintahan Soeharto pada waktu itu malah "mengincar" Bung Tomo sebagai buruan politik.
Pada 11 April 1978, Bung Tomo bersama sejumlah tokoh kritis seperti Mahbub Junaedi dan Ismail Suny ditangkap oleh Soeharto dan masuk penjara tanpa proses peradilan. Bung Tomo dipenjara di Wisma Nirbaya di sekitar kawasan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) selama setahun.
Kini pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, keluarga Bung Tomo dan warga Surabaya merasakan kebahagiaan dan kebanggaan karena Presiden atas nama negara menganugerahkan gelar pahlawan nasional dan Bintang Mahaputera Adipradana kepada Bung Tomo.
Penganugerahan gelar pahlawan untuk Bung Tomo berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 041/TK/TH 2008 tertanggal 6 November.
Rosihan mengungkapkan gelar itu sepantasnya menjadi milik Bung Tomo atas perjuangan dan semangat yang ditularkan pada pemuda-pemudi Surabaya untuk mengusir penjajah. "Dia memiliki kharisma sebagai seorang pemuda yang mampu memotivasi dan mendorong orang lain bersama-sama berjuang untuk kemerdekaan," katanya.
Tjoet Nyak Meutia
Cut Nyak Meutia (1870 Pirak, Keureutoe, Aceh Utara-24 Oktober 1910) adalah pahlawan nasional Indonesia dari daerah Aceh. Ia dimakamkan di Alue Kurieng, Aceh
Awalnya Cut Meutia melakukan perlawanan terhadap Belanda bersama suaminya Teuku Muhammad atau Teuku Cik Tunong. Namun pada bulan Maret 1905, Cik Tunong berhasil ditangkap Belanda dan dihukum mati di tepi pantai Lhokseumawe. Sebelum meninggal, Teuku Cik Tunong berpesan kepada sahabatnya Pang Nagroe agar mau menikahi istrinya dan merawat anaknya Teuku Raja Sabi.
Cut Meutia kemudian menikah dengan Pang Nagroe sesuai wasiat suaminya dan bergabung dengan pasukan lainnya dibawah pimpinan Teuku Muda Gantoe. Pada suatu pertempuran dengan Korps Marechausée di Paya Cicem, Cut Meutia dan para wanita melarikan diri ke dalam hutan. Pang Nagroe sendiri terus melakukan perlawanan hingga akhirnya tewas pada tanggal 26 September 1910.
Cut Meutia kemudian bangkit dan terus melakukan perlawanan bersama sisa-sisa pasukkannya. Ia menyerang dan merampas pos-pos kolonial sambil bergerak menuju Gayo melewati hutan belantara. Namun pada tanggal 24 Oktober 1910, Cut Meutia bersama pasukkannya bentrok dengan Marechausée di Alue Kurieng. Dalam pertempuran itu Cut Nyak Meutia gugur.
Ki Hadjar Dewantara
Masa muda dan awal karier
Soewardi berasal dari lingkungan keluarga Keraton Yogyakarta. Ia menamatkan pendidikan dasar di ELS (Sekolah Dasar Eropa/Belanda). Kemudian sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), tapi tidak sampai tamat karena sakit. Kemudian ia bekerja sebagai penulis dan wartawan di beberapa surat kabar antara lain Sediotomo, Midden Java, De Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Pada masanya, ia tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya komunikatif dan tajam dengan semangat antikolonial.
Aktivitas pergerakan
Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Sejak berdirinya Boedi Oetomo (BO) tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda untuk menyosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia (terutama Jawa) pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara. Kongres pertama BO di Yogyakarta juga diorganisasi olehnya.
Soewardi muda juga menjadi anggota organisasi Insulinde, suatu organisasi multietnik yang didominasi kaum Indo yang memperjuangkan pemerintahan sendiri di Hindia Belanda, atas pengaruh Ernest Douwes Dekker (DD). Ketika kemudian DD mendirikan Indische Partij, Soewardi diajaknya pula.
Beberapa pejabat Belanda menyangsikan tulisan ini asli dibuat oleh Soewardi sendiri karena gaya bahasanya yang berbeda dari tulisan-tulisannya sebelum ini. Kalaupun benar ia yang menulis, mereka menganggap DD berperan dalam memanas-manasi Soewardi untuk menulis dengan gaya demikian.Akibat tulisan ini ia ditangkap atas persetujuan Gubernur Jenderal Idenburg dan akan diasingkan ke Pulau Bangka (atas permintaan sendiri). Namun demikian kedua rekannya, DD dan Tjipto Mangoenkoesoemo, memprotes dan akhirnya mereka bertiga diasingkan ke Belanda (1913). Ketiga tokoh ini dikenal sebagai "Tiga Serangkai". Soewardi kala itu baru berusia 24 tahun.
Dalam kabinet pertama Republik Indonesia, KHD diangkat menjadi menteri pengajaran Indonesia (posnya disebut sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan) yang pertama. Pada tahun 1957 ia mendapat gelar doktor kehormatan (doctor honoris causa, Dr.H.C.) dari universitas tertua Indonesia, Universitas Gadjah Mada. Atas jasa-jasanya dalam merintis pendidikan umum, ia dinyatakan sebagai Bapak Pendidikan Nasional Indonesia dan hari kelahirannya dijadikan Hari Pendidikan Nasional (Surat Keputusan Presiden RI no. 305 tahun 1959, tanggal 28 November 1959).
Ia meninggal dunia di Yogyakarta tanggal 26 April 1959
Gajah Mada
Gajah Mada adalah salah satu tokoh besar pada zaman kerajaan Majapahit. Menurut berbagai kitab dari zaman Jawa Kuno, ia menjabat sebagai Patih (Menteri Besar), kemudian Mahapatih (Perdana Menteri) yang mengantarkan Majapahit ke puncak kejayaannya. Ia terkenal dengan sumpahnya, yaitu Sumpah Palapa, yang menyatakan bahwa ia tidak akan memakan palapa sebelum berhasil menyatukan Nusantara. Di Indonesia pada masa kini, ia dianggap sebagai salah satu pahlawan penting[1] dan merupakan simbol nasionalisme.
Sumpah Palapa
Pada waktu pengangkatannya, ia mengucapkan Sumpah Palapa, yang berisi bahwa ia akan menikmati palapa atau rempah-rempah (yang diartikan kenikmatan duniawi) jika telah berhasil menaklukkan Nusantara. Sebagaimana tercatat dalam kitab Pararaton berikut:[2]
“ Sira Gajah Mada pepatih amungkubumi tan ayun amukti palapa, sira Gajah Mada: Lamun huwus kalah nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tañjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompu, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa ”
Arti
Gajah Mada sang Mahapatih tak akan menikmati palapa, berkata Gajah Mada, "Selama aku belum menyatukan Nusantara, aku takkan menikmati palapa. Sebelum aku menaklukkan Pulau Gurun, Pulau Seram, Tanjungpura, Pulau Haru, Pahang, Dompu, Pulau Bali, Sunda, Palembang dan Tumasik, aku takkan mencicipi palapa.
Walaupun ada sejumlah (atau bahkan banyak) orang yang meragukan sumpahnya, Patih Gajah Mada memang hampir berhasil menaklukkan Nusantara. Bedahulu (di Bali) dan Lombok (1343), Palembang, Swarnabhumi (Sriwijaya), Tamiang, Samudra Pasai, dan negeri-negeri lain di Swarnadwipa (Sumatra) telah ditaklukkan. Lalu Pulau Bintan, Tumasik (Singapura), Semenanjung Malaya, dan sejumlah negeri di Kalimantan seperti Kapuas, Katingan, Sampit, Kotalingga (Tanjunglingga), Kotawaringin, Sambas, Lawai, Kendawangan, Landak, Samadang, Tirem, Sedu, Brunei, Kalka, Saludung, Solok, Pasir, Barito, Sawaku, Tabalung, Tanjungkutei, dan Malano.Di zaman pemerintahan Prabu Hayam Wuruk (1350-1389) yang menggantikan Tribhuwanatunggadewi, Patih Gajah Mada terus mengembangkan penaklukan ke wilayah timur seperti Logajah, Gurun, Sukun, Taliwung, Sapi, Gunungapi, Seram, Hutankadali, Sasak, Bantayan, Luwu, Makassar, Buton, Banggai, Kunir, Galiyan, Salayar, Sumba, Muar (Saparua), Solor, Bima, Wandan (Banda), Ambon, Wanin, Seran, Timor, dan Dompo.
Akhir hidup
Disebutkan dalam Kakawin Nagarakretagama bahwa sekembalinya Hayam Wuruk dari upacara keagamaan di Simping, ia menjumpai bahwa Gajah Mada telah sakit. Gajah Mada disebutkan meninggal dunia pada tahun 1286 Saka atau 1364 Masehi.Hayam Wuruk kemudian memilih enam Mahamantri Agung, untuk selanjutnya membantunya dalam menyelenggarakan segala urusan negara.
Sisingamangaraja XII
Raja Sisingamangaraja XII (Negeri Bakkara, Tapanuli, 1849 – Simsim, Tano Batak, 17 Juni 1907; bergelar Ompu Pulo Batu) adalah seorang penguasa di daerah Tapanuli, Sumatra Utara pada akhir abad ke-19.
Dia wafat pada 17 Juni 1907 saat membela diri dari serangan pasukan Belanda. Makamnya berada di Soposurung, Balige setelah dipindahkan dari Tarutung
Perlu diketahui bahwa kerajaan Raja Sisingamangaraja XII yang diwarisinya dari leluhurnya bukanlah sebuah kerajaan dalam pengertian umum. Secara politik, beliau hanyalah raja negerinya sendiri, negeri Bakkara. Yang menjadikan leluhur Raja Sisingamangaraja XII dan Raja Sisingamangaraja XII sendiri dikenal sebagai "Raja Orang Batak" adalah fungsinya sebagai Imam kepercayaan orang Batak. Kedudukannya dalam percaturan politik Tano Batak dapat dianalogikan seperti kedudukan Kaisar Romawi Suci dalam Kekaisaran Romawi Suci. Hanya saja Raja Sisingamangaraja XII juga memegang jabatan Imam Agama Parmalim, kepercayaan orang Batak di zamannya.Gelar Singamangaraja adalah gelar kelompok turun temurun yang memiliki keistimewaan wibawa (sahala), pendeta raja (priester Konig) dari cabang marga Sinambela, tinggal di Bakkara. Karena keistimewaan, keunggulan, kearifan yang berlangsung turun temurun mereka dihormati sebagian besar orang Batak, khususnya dari belahan marga besar Sumba. Pahlawan nasional Indonesia ini yang disebut juga Ompu Pulo Batu adalah Singamangaraja yang keduabelas.
Untung Suropati
Untung Suropati (lahir: Bali,1660 – wafat: Bangil,1706) adalah seorang pahlawan nasional Indonesia yang berjuang di Pulau Jawa. Ia telah ditetapkan sebagai pahlawan nasional Indonesia berdasarkan S.K. Presiden No. 106/TK/1975 tanggal 3 November 1975.Nama aslinya tidak diketahui. Menurut Babad Tanah Jawi ia berasal dari Bali yang ditemukan oleh Kapten van Beber, seorang perwira VOC yang ditugaskan di Makasar.
Kapten van Beber kemudian menjualnya kepada perwira VOC lain di Batavia yang bernama Moor. Sejak memiliki budak baru, karir dan kekayaan Moor meningkat pesat. Anak kecil itu dianggap pembawa keberuntungan sehingga diberi nama Si Untung.
Ketika Untung berumur 20 tahun, ia dimasukkan penjara oleh Moor karena berani menikahi putrinya yang bernama Suzane. Untung kemudian menghimpun para tahanan dan berhasil kabur dari penjara dan menjadi buronan.
Sepeninggal Amangkurat II tahun 1703, terjadi perebutan takhta Kartasura antara Amangkurat III melawan Pangeran Puger. Pada tahun 1704 Pangeran Puger mengangkat diri menjadi Pakubuwana I dengan dukungan VOC. Tahun 1705 Amangkurat III diusir dari Kartasura dan berlindung ke Pasuruan.
Pada bulan September 1706 gabungan pasukan VOC, Kartasura, Madura, dan Surabaya dipimpin Mayor Goovert Knole menyerbu Pasuruan. Pertempuran di benteng Bangil akhirnya menewaskan Untung Suropati alias Wiranegara tanggal 17 Oktober 1706. Namun ia berwasiat agar kematiannya dirahasiakan.
Makam Suropati pun dibuat rata dengan tanah. Perjuangan dilanjutkan putra-putranya dengan membawa tandu berisi Suropati palsu.
Pada tanggal 18 Juni 1707 Herman de Wilde memimpin ekspedisi mengejar Amangkurat III. Ia menemukan makam Suropati yang segera dibongkarnya. Jenazah Suropati pun dibakar dan abunya dibuang ke laut.
Gugur di Atas KRI Macan Tutul
Pahlawan Nasional Laksamana Madya Yosaphat Sudarso, yang lebih dikenal dengan panggilan Yos Sudarso, kelahiran Salatiga, 24 November 1925, gugur dalam pertempuran di atas KRI Macan Tutul dalam pertempuran Laut Aru 13 Januari 1962 pada masa kampanye Trikora. Namanya kini diabadikan pada sebuah KRI dan pulau.
Ny Yos Sudarso Telah Tiada
Istri pahlawan Aru, Komodor Laut Yos Sudarso, Nyonya Josephine F Siti Kustini, kelahiran Ngawi, Jawa Timur, 1935, meninggal dunia dalam usia 71 tahun, Sabtu 2 September 2006 pukul 14.00, di Rumah Sakit Angkatan Laut Dr Mintohardjo, Jakarta. Almarhumah meninggal dunia akibat penyakit jantung dan radang paru-paru.
Menurut siaran berita dari Dinas Penerangan TNI Angkatan Laut (AL) jenazah dimakamkan hari Senin, 4 September 2006 di Tempat Pemakaman Umum Kaliwuluh, Desa Kaliwuluh, Kecamatan Kebak Kramat, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Pemberangkatan jenazah dari Jakarta menuju Surakarta menggunakan pesawat TNI AL dari Bandar Udara Halim Perdanakusuma, Senin 4/9 pukul 11.00.
Pastor Luarens memimpin misa arwah di kediaman almarhumah di Jalan Cimandiri Nomor 12, Cikini, Jakarta Pusat. Datang melawat ke rumah duka, antara lain, mantan Kepala Staf TNI Angkatan Laut Laksamana (Purn) Sudomo, mantan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, dan sesepuh TNI AL lainnya.
Ny Siti Kustini menikah dengan Yos Sudarso tahun 1955 dan dikaruniai lima anak, dua orang di antaranya telah meninggal dunia. Dia adalah orang yang berdisiplin, selalu tepat waktu, termasuk menunaikan ibadah agama dengan mengikuti misa kudus hampir setiap hari.
Sabtu, 27 Desember 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar